Kamis, 07 Mei 2015

PETTA LA SINRANG

Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah ke atas (bulu sussang).

Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan dari pamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, La Sinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu ciri bahwa putra Addatuang Sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.

Diwaktu kecil La Sinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “Massaung“ yang artinya Menyabung Ayam. Dari kegemaran ini, La Sinrang selalu menggunakan “Manu bakka“ (ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah pada bagian dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang.
Kegemaran menyabung ayam dengan “manu bakka“ tersiar keluar daerah, sehingga La Sinrang dikenal dengan julukan “Bakka Lolona Sawitto“ juga dapat diartikan  Pemuda berani dari Sawitto. Julukan ini semakin popular disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.

Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik dengan Permian tersebut.

La sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong ( La Tanrisampe) juga merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.

La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro dari hasil perkawinan dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.

Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya

La Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone.

Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.

Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “ La Salaga ‘ sedang kerisnya diberi nama “JalloE”.

La Sinrang melawan Belanda pada tahun 1903, Belanda kewalahan karena La Sinrang karena menggunakan taktik gerilya dan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan Gowa. Setelah berbagai usaha untuk menghentikan gerakan perlawanan La Sinrang, maka pada tanggal 25 Juli 1906 La Sinrang diancam oleh Belanda akan menyiksa keluarganya jika tidak menyerahkan diri ke Belanda, akhirnya pada bulan Juli 1906 datanglah La Sinrang bersama pasukannya yang berjumlah sekita 100 orang. La Sinrang diasingkan ke Banyumas di pulau Jawa. Dan dibebaskan kembali ke Sawitto dalam keadaan sakit dan lanjut usia. La Sinrang wafat  29 Oktober 1938 dimakamkan di Amassangeng yang terletak di pinggir kota Pinrang sekarang.

MONUMEN
Monumen La Sinrang terletak di Kelurahan Macorawalie, Kecamatan Wattang Sawitto, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya antara persimpangan jalan Jendral Sudirman dengan jalan Jendral Sukawati Pinrang. Lokasi atau areal monumen di tata dalam bentuk taman dengan luas  sekitar 26.095 meter dan luas bangunan monumen sekitar 8.800 meter. Bangunan monumen terdiri dari tiga bagian; pertama atau dasar berbentuk segi delapan dengan tinggi sekitar satu meter, bagian kedua merupakan  penyanggah patung dengan tinggi sekitar 2 meter serta bagian ketiga atau bagian atas dengan berbentuk patung setengah badan. Pahlawan La Sinrang dengan tinggi sekitar satu meter lebih. Mulai dibangun pada tahun 1994 dan selesai pada tanggal 15 Maret 1995, diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan.








Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar