Arung Palakka (lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15
September 1634 – meninggal di Bontoala, 6
April 1696 pada umur 61 tahun) adalah Sultan Bone yang
menjabat pada tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran,
ia memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada
tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belandasaat merebut Makassar.
Palakka pula yang menjadikan suku Bugis sebagai kekuatan maritim
besar yang bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan tersebut selama
hampir seabad lamanya.
Arung
Palakka bergelar La Tan-ri Tatta To' Urong To-ri Sompi Patta
Malampei Gammana Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din,
mengacu pada ejaan huruf lontara. Adapun pelafalan yang tepat adalah La
Tenritatta To Unru To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme'na Daeng Serang To'
Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin.
Kelahiran
dan kematian
Arung
Palakka La Tenri tatta lahir di Lamatta, Mario-ri
Wawo, Soppeng, pada tanggal 15 September 1634 sebagai anak dari pasangan
La Pottobunna, Arung Tana Tengnga, dan istrinya, We Tenri Suwi, Datu Mario-ri
Wawo, anak dari La Tenri Ruwa Paduka Sri Sultan Adam, Arumpone Bone.
Arung
Palakka meninggal di Bontoala, Kesultanan
Gowa, pada tanggal 6 April 1696 dan dimakamkan di Bontobiraeng.
Pernikahan
Arung
Palakka pertama kali menikah dengan Arung
Kaju namun akhirnya mereka bercerai. Selanjutnya, ia menikah
dengan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16
Maret 1668, sebelumnya istri dari Karaeng
Bontomaronu dan Karaeng Karunrung Abdul Hamid. Pernikahan ini pun
tidak bertahan lama dan keduanya bercerai pada tanggal 26
Januari 1671. Untuk ketiga kalinya, ia menikahi We Tan-ri Pau Adda Sange
Datu-ri Watu, Datu Soppeng, di Soppeng pada tanggal 20
Juli 1673. Istri ketiganya ini adalah putri dari La Tan-ri Bali Beowe II,
Datu Soppeng, dan sebelumnya menjadi istri La Suni, Adatuwang Sidenreng.
Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada tanggal 14 September 1684 dengan
Daeng Marannu, Karaeng Laikang, putri dari Pekampi Daeng Mangempa Karaeng
Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya adalah istri dari Karaeng Bontomanompo
Muhammad.
Persekutuan
dengan VOC
Arung
Palakka adalah seorang jagoan yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah
berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan
seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk
selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis Bone dengan badik yang sanggup memburai
usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660-an, ketika ia
bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman & keperkasaan Sultan Hasanuddin.
Batavia di
abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian
tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan
adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan
adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang
harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik
kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf
Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling
memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa
bagi sesamanya.
Nama Arung
Palakka terdapat pada sebuah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),
berisikan data sejarah tentang Batavia pada masa silam dengan sejarah yang
kelam. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit kisah tentang pria yang
patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.
Arung
Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang
menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, suku Bugis Bone
yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan
meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya.
Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala
ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya
yaitu pria Belanda bernama Cornelis
Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan
memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan
hasil bumi.
Ketiga tokoh
yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan pada masa itu. Speelman adalah
petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena
terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai
Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bone yang
hidup terjajah dan dalam tawanan Kerajaan
Gowa. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC
menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga
serdadu Bone ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker
adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak
pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang
mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah
dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.
Baik
Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang
sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama
mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam
sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami
VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu setelah
terjadinya Perjanjian Bongaya yang menjadi momok bagi VOC serta
rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah-
rempah Maluku, pada tanggal 18 November 1667.
Arung
Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumihanguskan
perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan
dua sisi diametral, di satu sisi hendak membebaskan Bone, namun di sisi lain
justru menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662,
dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian
yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk
monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang,
rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang
bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke Minangkabau
dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan
Bone, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga
menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau
dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat
inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.
Sedang
Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan
pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga
tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan
Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur.
Mereka punya
andil besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur
Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini
menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani
menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang besar. Di
luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran multibangsa dengan
loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli
emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.
Sayangnya,
kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang
tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac
declornay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang
memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa
Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga
akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga
berhasil memengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten
Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung,
kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu,
kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya
diasingkan ke Colombo dan Afrika.
ARUMPONE BONE
Menggantikan
ibunya sebagai Datu Mario-ri Wawo ke-15. Mendapat gelar Arung Palakka sebagai
hadiah membebaskan rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui
oleh Belanda sebagai Arung Pattiru, Palette dan Palakka di Bone
and Datu Mario-ri Wawo di Soppeng, Bantaeng dan Bontoala, 1670.
Menyatakan
penurunan paksa tahta paman kandungnya pada 1672. Dan dimahkotai
sebagai Sultan Bone dengan gelar Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, 3
November 1672.
Andaya mengarahkan perhatiannya kepada Arung Palakka sebagai wakil
dari tema dan kepercayaan dasar yang sampai sekarang menguasai kehidupan orang
Bugis atau Makassar. Dari sanalah dia mencoba mencari akar sebab Arung Palakka
rela bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya sendiri di Kerajaan
Gowa yang sedang jaya-jayanya sebagai salah satu kerajaan terkuat dan
terbesar di Nusantara abad ke-17.
Jawaban
persoalan itu, menuru Andaya, kurang tepat jika dicari dalam kerangka
persaingan ekonomi di wilayah bagian barat laut Nusantara, antara Kerajaan Gowa dan VOC, yang memuncak dalam Perang Makassar
1666-1669, sebagaimana diyakini para sarjana lokal dan mancanegara. Alasan
pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis, tetapi pangadereng yang meliputi
siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan
pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang
dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui
tindakan orang itu sendiri).
Tanpa
memahami ketiga ciri kultural yang memegang peranan sangat penting dalam
sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan keruh selamanya menilai Arung Palakka.
Lagi pula Andaya percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa
masa lalu tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena
itu siri’, pacce, dan sare adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai untuk
menilai dan mengevaluasi kejadian penting di abad itu, ketimbang standar masa
kini. Demikianlah dia memasuki dan memberi sumbangan penting dalam polemik yang
sampai kini masih berkembang di antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang
Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas.
Berlatar
belakang seperti itu, Andaya memulai riwayat tokohnya dengan membahas sejumlah
ciri tertentu budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan
keadaan historis abad ke-17, terutama perkembangan Islam dan perdagangan
internasional yang memuncak menjadi ketegangan antara Gowa, Bone, dan VOC
yang hadir di sana sejak tahun 1601. Ketegangan yang dia perlihatkan dengan
rinci menjadi latar kelahiran serta mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung
Palakka.
Arung
Palakka lahir sekitar tahun 1635 di Desa Lamatta, daerah Mario Wawo Soppeng,
sebagai pewaris takhta Kerajaan Bone. Ketika umurnya delapan tahun, Bone
diperangi Kerajaan Gowa dan
berhasil menaklukkannya. Sejak berumur 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya
dibawa sebagai sandera ke Istana Gowa. Mereka beruntung karena menjadi
pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan
Gowa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangeran yang
mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.
Meski dia
terlibat aktif di Istana Gowa dan berkawan
dengan para pemuda Makassar, siri’ dan pacce mengingatkannya selalu sebagai putra
dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa rakyatnya menderita. Awal 1660 dia
merasa penderitaan itu semakin hebat karena harus menyaksikan 10.000 orang tua
maupun muda diseret dari Bone ke Makassar atas perintah Sultan Hassanudin
melalui Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati) Bone, Tobala. Mereka dijadikan
pekerja paksa penggali kanal di sepanjang garis pertahanan pantai Makassar agar
ada pemisah antara Kerajaan Goa dan Benteng Pa’nakkukang yang diduduki VOC.
Lantaran
banyak yang sakit dan melarikan diri, seluruh bangsawan Bone dan Soppeng
diperintahkan keluar dari istana, bekerja bersama rakyatnya. Ini
melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh rakyat Bone dan
Soppeng karena junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang tidak seharusnya.
Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bone dan Soppeng dan
menebalkan pacce di antara mereka. Perlawanan pun dirancang.
Arung
Palakka adalah salah satu perancangnya, tetapi perlawanan itu patah oleh
kekuatan Gowa yang besar. Ia terdesak. Akhir
tahun 1660 dia meninggalkan Sulawesi Selatan bersama pengikutnya menuju Batavia
dengan bantuan VOC, namun dalam hatinya terpatri sumpah tidak akan berhenti
mencari cara untuk kembali, buat perhitungan, dan merdekakan negeri Bone.
Setelah
menunggu lima tahun, keinginannya terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur
pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke ("Orang Angke", diambil
dari Kali Angke yang mengalir melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat
membantu memadamkan pemberontak Minangkabau, mengajaknya memerangi Gowa yang dinilai mengganggu kepentingan ekonomi VOC.
Andaya
memberi ruang luas buat mengisahkan Perang Makassar. Salah satu yang menarik
adalah ditunjukkannya psikologi Arung Palakka dan Cornelis Speelman yang menjadi
aktor utama pilihan VOC memimpin ekspedisi ke Kerajaan Gowa. Keduanya menderita oleh apa yang mereka anggap
ketidakadilan sehingga rela berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman
yakin cuma kemenangan yang bisa membersihkan namanya dari noda dipecat dengan
tidak hormat karena perdagangan gelapnya sebagai Gubernur VOC di Coromandel
tahun 1665. Sementara bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya dari
beban berat bahwa siri’-nya telah mati.
Hanya dengan
memulihkan siri’-nya dan rakyatnya dia dapat memperlihatkan wajah di Sulawesi
Selatan. Dia yakin lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate ri siri’na)
ketimbang hidup tanpa siri’ (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’ adalah
"mati dengan siraman gula dan santan" (mate ri gollai, mat ri
santannge). Situasi psikologis itulah yang mendorong keduanya "mentafsir
ulang" perintah VOC.
Hal lain
yang menarik adalah kajian Andaya mengenai dampak perang itu atas rakyat
Makassar. Melalui cerita rakyat Bugis, Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua, dia
memperlihatkan Arung Palakka dan Perang Makassar yang dimaknai rakyat pedesaan
Makassar dan Bugis sebagai kemenangan rakyat dan keunggulan nilai-nilai mereka
yang didasarkan pada kebiasaan dan praktik (ada’) yang sudah sangat tua dalam
masyarakat, yaitu siri’, pacce, dan sare.
Ini sangat
berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun sejarawan Indonesia yang
melulu bergantung pada sumber Kerajaan Makassar dan/atau dokumen VOC. Mereka
cenderung menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kalangan para raja dan
ningrat Makassar sebagai pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar. Jadi,
seharusnya masyarakat Sulawesi Selatan dapat menurunkan kadar emosional dan
lebih rasional setiap mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai
Perang Makassar, Arung Palakka sangat memahami bahwa VOC telah menjadi kekuatan
"di", namun bukan "milik", Sulawesi Selatan. Perbedaan ini
disadari dan dimanipulasi untuk menciptakan dirinya sebagai salah satu penguasa
atasan yang berhasil dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana
dirintisnya tidak saja dengan kesadaran dia tidak akan berbalik melawan VOC
yang telah memulihkan hidupnya dan rakyatnya, tetapi juga dengan selalu
membuktikan kesetiaannya. Ia rela meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk
berperang membantu VOC menyelesaikan persoalan pengungsi Makassar
pimpinan Karaeng Galesong yang membantu perlawanan Trunojoyo di
Jawa.
Akhirnya,
Andaya menyimpulkan Arung Palakka adalah tokoh yang diberkati visi dan
kepiawaian politik yang kuat sehingga mampu menggunakan pengaruhnya dengan
efektif terhadap negara lokal, bahkan membuat pemerintah pusat VOC di Batavia
bergantung dan rela mengabaikan suara wakilnya di Fort Rotterdam agar
membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka semua berbagi mimpinya akan Sulawesi
Selatan bersatu.
Mimpi Arung
Palakka yang dalam 30 tahun kekuasaannya berhasil diwujudkan, tetapi sekaligus
membuat banyakpangeran dan pengikutnya yang tak setuju dikarenakan
politik kotor yang dilakukannya. Sehingga mengakibatkan pangeran dan pengikutnya
lari dan mencari rumah di tanah seberang sehingga mewarnai sejarah daerah
tujuan itu. Inilah yang menurut Andaya sebagai warisan Arung Palakka, tidak
hanya bagi Sulawesi Selatan tetapi juga bagi Nusantara, selain pribadinya
sebagai pemimpin yang sadar, paham, teguh memegang serta menjalankan tradisi
sebagaimana tersebut dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak tertulis.